Sepekan Teror di New Zaeland (Opini)

Oleh Al-Mahfud

Sepekan telah berlalu sejak hari itu. Jumat (15/3) menjadi hari kelabu bagi Selandia Baru (New Zaeland). Di hari tersebut, dunia dikagetkan kabar penembakan brutal di dua masjid di negara tersebut: Masjid Al-Noor di pusat kota Christchurch dan di Masjid Linwood di pinggiran kota. Akibatnya, 50 orang meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka, termasuk dua di antaranya merupakan Warga Negara Indonesia (WNI).

Serangan yang menyasar umat Muslim yang sedang beribadah salat Jumat tersebut begitu meremukkan rasa kemanusiaan kita. Terlebih, tindakan tersebut sengaja disiarkan secara langsung oleh pelaku melalui media sosial. Dunia pun tersentak, rasa kemanusiaan teriris. Banyak pihak mengecam aksi tersebut dan menyebutnya pelakunya tak ubahnya teroris.

Orang-orang semakin sadar bahwa aksi terorisme tak bersumber dari agama tertentu, namun bisa dilakukan orang dari kelompok mana pun, dan dilandasi bermacam motif. Jika selama ini umat Muslim yang sering dilabeli kekerasan, radikalisme, dan terorisme, kejadian di Christchurch membuka mata dunia lebar-lebar bahwa sumber dari kekerasan dan teror bisa bermula dari bermacam hal, terutama soal kebencian.

Salah seorang pelaku penembakan di Christchurch yang menyiarkan tindakannya di media sosial dikabarkan telah menulis manifesto dan mengunggahnya secara online. Dalam manifesto yang berisi pandangan tentang anti-imigran, anti-muslim, serta motif serangan yang dilakukan tersebut, pelaku menyebut dirinya “pria kulit putih biasa” dari keluarga kelas pekerja berpenghasilan rendah dan sikapnya dilakukan untuk mengurangi secara langsung tingkat imigrasi di tanah-tanah Eropa (detik.com, 15/3).

Selain di media sosial, manifesto tersebut juga dikabarkan dikirim melalui email oleh pelaku ke berbagai otoritas di Selandia Baru, beberapa menit sebelum penembakan. Tapi Perdana Menteri Jacinta Arden mengatakan tak ada rincian di dalamnya yang bisa segera ditindaklanjuti untuk mengupayakan pencegahan. Saat pihak keamanan menerima email tersebut, panggilan darurat sudah diterima. Penembakan brutal di dua masjid telah terjadi. Puluhan orang sudah meninggal dan luka-luka.

Dari manifesto yang disebar pelaku terlihat adanya kebencian dan sentimen ras dan agama yang turut menjadi motivasi tindakan brutal tersebut. Kebencian terhadap imigran Muslim memang cenderung menguat di Barat, baik Amerika maupun Eropa. Ulah kelompok eksrem seperti peristiwa 11 September 2001 di New York, juga di Paris dan San Bernandino California pada 2015, berdampak terhadap pandangan Barat pada umat Islam secara umum. Islamofobia juga meluas karena kampanye pemimpin politik serta media-media di Barat yang cenderung menyudutkan Islam dan umat Islam secara umum (John L. Esposito: 2015).

Kejadian di Christchurch bisa dipandang sebagai bagian dari dampak Islamofobia yang dibiarkan tumbuh. Presiden Turki, Erdogan, bahkan menyebut penembakan di Christchurch sebagai “contoh baru dari meningkatnya rasisme dan Islamofobia”. Sementara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menyebutnya sebagai peringatan tentang bahaya nyata dari kebencian, intoleransi, dan Islamofobia.

            Solidaritas kemanusiaan

Peristiwa penembakan di dua masjid di Christchurch menyadarkan kita semua betapa berhayanya kebencian, sekaligus betapa pentingnya menjaga persaudaraan dan perdamaian antar kelompok, ras, dan agama. Dunia telah bersatu mengecam aksi teror tersebut. Kini, siapa pun, dari berbagai kelompok dan kalangan, berbondong-bondong menunjukkan solidaritas dan menguatkan para Muslim di Christchurch.

Di Selandia Baru, rasa aman berusaha kembali dibangun. Sebab dari dulu negara ini memang masuk dalam jajaran teratas negara paling aman di dunia. Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, dengan memakai kerudung hitam, mengungkapkan simpatinya terhadap umat Muslim yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Ia berjanji akan memperketat aturan penggunaan senjata di Selandia Baru. Pemerintah mesti menjamin keamanan warganya.

Warga Selandia Baru, khususnya di Kota Christchurch, berusaha terus memberikan kehangatan dan kekuatan terhadap warga Muslim. Di dua masjid yang menjadi saksi serangan tersebut, banyak warga meninggalkan karangan bunga berserta tulisan-tulisan yang berisi pesan-pesan penghormatan bagi para korban. Salah satunya bertuliskan pesan dalam bahasa Maori, “Kia Kaha”, yang artinya “tetap kuat”.

Kepedulian dan bantuan terus diberikan warga agar umat Muslim di Christchurch tetap percaya bahwa mereka adalah saudara. Warga bahkan berinisiatif membantu warga muslim dengan berbagai cara, mulai dari menggalang sumbangan dana, makanan halal, hingga menawarkan bantuan untuk menemani warga muslim yang takut berjalan sendirian di jalan atau di tempat umum.

Lianess Howard, seorang wanita dari Wellington, di Facebook menulis, “Jika setiap wanita muslim di Wellington merasa tak aman sekarang—saya akan berjalan bersama Anda, menunggu di halte bus bersama Anda, saya akan duduk di bus bersama Anda, atau berjalan bersama Anda saat berbelanja kebutuhan sehari-hari”. Unggahan tersebut mendapatkan respon luar biasa di dunia maya dan telah dibagikan sebanyak 16 ribu kali sehingga menjadi viral.

Sementara itu, para pemimpin umat Muslim di Selandia Baru juga menegaskan tetap percaya Selandia Baru sebagai tempat yang aman. Sebab, sejak awal mereka memang diterima dengan kehangatan dan persaudaraan negara tersebut. “Kami masih mencintai negeri ini. Ekstremis tidak akan meruntuhkan kepercayaan kami,” kata Ibrahim Abdul Halim, imam Masjid Linwood, salah satu masjid yang menjadi tempat penyerangan tersebut (kompas.com, 16/3).

Solidaritas kemanusiaan menembus sekat-sekat perbedaan antar kelompok, agama, hingga warna kulit. Teror tak boleh sedikit pun melemahkan kasih sayang terhadap sesama. Jatuhnya puluhan korban tak akan sanggup mengoyak keharmonisan yang telah lama tercipta. Kebencian, rasisme, dan Islamofobia adalah penyakit-penyakit merusak yang mesti dilawan bersama dengan terus menyemai persaudaraaan, toleransi, kasih sayang, dan penghargaan terhadap perbedaan dan keberagaman.

(Artikel ini pernah tayang di koran Padang Ekspres edisi 23 Maret 2019)