Setiap Orang adalah Guru

Belajar Mendidik
Judul               : Belajar Mendidik
Penulis           : Prof. Dr. B.S. Mardiatmadja, SJ
Penerbit        : Kanisius
Cetakan        : 1-2017
Tebal             : 176 halaman
ISBN               : 978-979-21-5407-8

25 November kemarin, kita memeringati Hari Guru Nasional (HGN). Peringatan HGN mengajak kita mengenang dan menghargai jasa guru yang telah mengabdi dan mendidik kita. Di samping itu, peringatan HGN membawa kita pada pelbagai problem dunia pendidikan, terutama terkait guru seperti soal kompetensi, problem administratif, sertifikasi, sampai soal kesejahteraan. Selama ini, peran penting guru selalu ditekankan ketika kita bicara tentang pendidikan. Bahkan, guru dianggap sebagai kunci pendidikan.

Pemahaman tersebut dikritisi Mardiatmadja lewat buku berjudul Belajar Mendidik ini. Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya Jakarta ini mengurai pelbagai hal seputar pendidikan secara mendasar, mulai arti pendidikan, arti belajar, dan makna mendidik. Menariknya, penulis mengawalinya dengan mengajak kita memandang proses pendidikan dalam konteks luas, agar pikiran tak melulu tertuju pada guru, ruang kelas, sekolah. Kembali memahami arti pendidikan dalam konteks luas mengantarkan kita pada pemahaman bahwa proses pendidikan tak hanya terjadi di sekolah.

Anggapan yang selalu mengarahkan telunjuk pada guru terkait tanggungjawabnya terhadap masa depan generasi muda, bagi penulis, menggambarkan bahwa makna pendidikan sudah menyempit di mata masyarakat. Penulis mengajak kita sadar bahwa “tugas mendidik” ada di pundak semua orang, baik pemerintah, orang tua, guru, dosen, dan masyarakat luas. Penulis mengutip catatan John I. Goodlad, “Sesungguhnya setiap bangsa, lepas dari ada-tidaknya guru yang kompeten atau tidak, sudah semestinya melakukan kegiatan, yang disebut ‘mendidik’” (hlm 13).

Untuk melihat persoalan pendidikan secara jernih, penulis berusaha tidak terjebak pada benang kusut problem pendidikan yang biasa dikemukakan, seperti soal guru, kurikulum, jam belajar, sarana prasarana, dll.  Penulis justru mengajak kita melihat lagi arti pendidikan dan laku mendidik yang sejati, yang pada dasarnya harus dilakukan dan ada pada setiap orang. Sebab, proses pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan melibatkan semua pihak. Setiap orang dewasa memiliki tanggung jawab mendidik anak-anak atau generasi muda.

Sekarang, jelas penulis, ‘pendidikan’ maupun ‘pendidik’ sebagai bentuk kata (kata jadian) diberi warna teori dan administratif. Imajinasi masyarakat tentang pendidikan tak jauh-jauh dari guru, kelas, dan sekolah. Penulis mengkritisi selama ini permasalahan sekitar pendidikan serta merta dilekatkan pada ‘lembaga sekolah’. Padahal, anak tak lepas dari didikan orang tua di keluarga pengaruh lingkungan lainnya. “Sekolah bertugas khususnya membantu orang tua mendidik anaknya,” tulis Mardiatmadja (hlm 16). Penulis mengajak kita memandang problem pendidikan secara komprehensif mengacu pada makna dasar “pendidikan” dan “mendidik”. Kerja pendidikan adalah kerja komprehensif mendidik anak, baik oleh orang tua, guru, dan masyarakat luas.

            Laku mendidik

Penulis mengajak kita menelusuri substansi “mendidik” untuk menggambarkan apa yang harus dilakukan semua pendidik, baik guru, orang tua, dosen, maupun masyarakat. Laku mendidik pada dasarnya tentang bagaimana membantu anak memaksimakan potensi yang ada dalam dirinya, mengembangkan pengetahuan, kecakapan, sekaligus membentuk sikap dan moral sesuai nilai yang berlaku di masyarakatnya. Pendeknya, laku mendidik berarti “tindakan membantu” anak belajar.

Belajar pada dasarnya adalah proses ketika murid menemukan relasi intelektual dengan dunia sekitarnya. Di sini, jelas penulis, mengajar terjadi ketika guru mendampingi murid menjadi manusia yang berinteraksi dengan dunia; sebagai jaringan hal-hal yang perlu diketahui, dengan menangkap metode pencarian dan pemahaman kebenaran. “Murid dibantu mencari data, bukan disodori sekumpullan data,” tulisnya. Pemikiran tersebut relevan jika melihat problem pendidikan saat ini. Salah satu problem pendidikan kita adalah minimnya kemampuan anak memecahkan masalah. Pendidikan belum bisa membekali anak kemandirian menyelesaikan persoalan.

Hasil Laporan Bank Dunia tentang tes membaca murid siswa kelas IV SD menyebutkan, murid di Indonesia hanya mampu memahami 36% materi bacaan dan kesulitan menjawab soal-soal uraian yang perlu penalaran dan analisis. Artinya, pendidik kita belum mampu membekali anak kemampuan “menganalisis”. Di sinilah, pemahaman bahwa mendidik tak sekadar “memberi pengetahuan”, namun lebih pada bagaimana “membekali kemampuan mencari” kebenaran, penting ditekankan. “Mengajar dalam hal ini adalah memperkenalkan metode memperoleh pengetahuan, agar selanjutnya murid dapat mngembangkan pencarian pengetahuannya sendiri,” jelas Mardiatmaja (hlm 47).

Penekanan ulang soal hakikat pendidikan dan arti mendidik membuat kita bisa melihat pelbagai persoalan di dunia pendidikan secara jernih, menyeluruh, dan berimbang. Guru memang faktor penting yang menentukan kualitas pendidikan, namun kita tak boleh lupa bahwa proses didikan yang didapat anak melibatkan banyak faktor. Kualitas seorang anak dibentuk dari interaksinya (belajar) dengan orang tua, guru, teman, dan lingkungan masyarakat secara luas. Jika kita menghendaki generasi muda berkualitas, semua pihak harus mengupayakan didikan yang baik. Setiap orang harus belajar mendidik, sebab setiap orang adalah guru.

(Pernah tayang di Lampung Post, edisi 16 Desember 2017)